Transformasi Folklore Dhukutan menjadi Film Dokumenter: Sebuah Inspirasi di Era Industri Kreatif

Asep Yudha Wirajaya

Abstract


Dhukutan merupakan salah satu khazanah folklore masyarakat Dataran Tinggi Lawu yang masih eksis diperingati sampai hari ini. Selama ini, folklore Dhukutan telah mampu mengangkat nama daerah Nglurah sebagai salah satu destinasi wisata dengan peninggalan artefak berupa Candi Menggung dan kekayaan floranya sekaligus sebagai buah tangan bagi para wisatawan. Namun, di tengah terpaan badai pandemi covid 19 yang tak kunjung berakhir, mulailah terbersit ide untuk mengemas upacara tradisi dhukutan tersebut ke dalam bentuk digital. Dengan kemasan dalam format film dokumenter, folklore dhukutan diharapkan akan dapat mengangkat dan memperkenalkan kearifan lokal masyarakat Tawangmangu. Dengan demikian, pengemasan folklore menjadi sebuah film dokumenter akan menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi para kreator dan sineas muda. Mengingat lokasi pengambilan gambar yang curam dan berlereng. Selain itu, prosesi upacara dhukutan sendiri memakan waktu 3 hari 4 malam. Tentunya kesemuanya itu perlu dipertimbangakn secara masak bagi para calon produser yang akan menangani film dokumenter dhukutan. Namun, setidaknya kehadiran film dokumenter dhukutan akan memperkaya dan memberikan warna tersendiri bagi dunia perfilman di Indonesia.

 

Dhukutan is one of the folklore treasures of the Lawu Highlands community which still exists and is commemorated to this day. So far, the Dhukutan folklore has been able to raise the name of the Nglurah area as a tourist destination with artifacts in the form of Menggung Temple and its rich flora as well as souvenirs for tourists. However, in the midst of the never-ending storm of the COVID-19 pandemic, the idea began to appear to package the traditional dhukutan ceremony into digital form. By packaging in a documentary film format, Dhukutan folklore is expected to be able to raise and introduce the local wisdom of the Tawangmangu community. Thus, packaging folklore into a documentary film will be a challenge for young creators and filmmakers. Given the steep and sloped shooting location. In addition, the Dhukutan ceremony itself takes 3 days and 4 nights. Of course, all of this needs to be carefully considered for the prospective producers who will handle the Dhukutan documentary. However, at least the presence of a Dhukutan documentary will enrich and give its color to the film industry in Indonesia.


Keywords


folklore dhukutan;transformasi;film dokumenter;industri kreatif

Full Text:

PDF

References


Anonim. (2020). “Ubi Jalar Karanganyar Untung Besar dan Ekspor Ke Korea.” Kementerian Pertanian. Retrieved July 19, 2020

(https://www.pertanian.go.id/home/?show=news&act=view&id=4030).

Asura, Enang Rokajat. (2005). Panduan Praktis Menulis Skenario Dari Iklan Sampai Sinetron. Yogyakarta: Andi.

Barker, Chris. (2004). Cultural Studies: Teori Dan Praktik. edited by H. Purwanto. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Bluestone, George. (1968). Novel Into Film. California: University of California Press.

Brunvand, Jan Harold. (1968). The Study of America Folklore An Introduction. New York: Norton & Co Inc.

Buana, Dana Riksa. (2020). “Analisis Perilaku Masyarakat Indonesia Dalam Menghadapi Pandemi Virus Corona (Covid-19) Dan Kiat Menjaga Kesejahteraan Jiwa.” SALAM: Jurnal Sosial Dan Budaya Syar-I. doi: 10.15408/sjsbs.v7i3.15082.

Damono, Sapardi Djoko. (2014). Alih Wahana. Jakarta: Editum.

Danandjaja, James. (1986). Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, Dan LainLain. Jakarta: Grafiti Press.

Endraswara, Suwardi. (2009). Metodologi Penelitian Folklor: Konsep, Teori, Dan Aplikasi. Yogyakarta: Med Press.

Fathurahman, Oman. (2020). “(356) Ngariksa 15 I Tha’un Dan Waba’ Dalam Manuskrip Arab Dan Nusantara | Kang Oman - YouTube.” Retrieved July 4, 2020 (https://www.youtube.com/watch?v=JOUgcPVVxD0).

Hadikoesoemo, R. M. Soenandar. 1985. Filsafat Ke-Jawan: Ungkapan Lambang Ilmu Gaib Dalam Seni – Budaya Peninggalan Leluhur Jaman Purba. Jakarta: Yuhdgama Corporation.

Haris Herdiansyah. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Salemba Humanika.

Huberman, Matthew B. Miles dan A. Michael. (1992). Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: UI Press.

Jateng, Humas. 2020. “Kembangkan Pertanian Organik, Jateng Timba Teknologi Dari OISCA.” Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Retrieved July 19, 2020

(https://jatengprov.go.id/publik/kembangkan-pertanian-organik-jateng-timbateknologi-dari-oisca/).

Koentjaraningrat. (1981). Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Liang, Tingbo. (2020). Buku Pegangan Pencegahan Dan Penatalaksanaan COVID-19. Zhejiang: Zhejiang University School of Medicine & Alibaba Cloud.

Lutters, Elizabeth. (2005). Kunci Sukses Menulis Skenario. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Moleong, Lexy, J. (1995). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Pratista, Himawan. (2008). Memahami Film. edited by E. Damayati. Yogyakarta: Homerian Pustaka.

Putra, Dwi Aditya. (2020). “Indonesia Paparkan Penanganan Dampak Virus Corona Ke 119 Negara.” Liputan6.Com.

Ratna, Nyoman Kutha. (2015). Teori, Metode, Dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R Dan D. Bandung: Alfabeta.

Sutopo, H. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar Dan

Terapannya Dalam Penelitian. Surakarta: UNS Press.

Taylor, S. J., & Bogdan, R. (1998). Introduction to Qualitative Research Methods: A Guidebook and Resource (3rd Ed.). (Michigan: John Wiley & Sons Inc.

Wibawa, Satria Setya Adhi. (2020). Cinematography. Surakarta.

Widagdo, M. Bayu dan Winastwan Gora S. 2004. Bikin Sendiri Film Kamu: Panduan Produksi Film Indonesia. Yogyakarta: Anindya.

Wirajaya, Asep Yudha. (2006). “Situs Menggung: Sebuah Ikon Historiografi.” Haluan Sastra Budaya Th. XXV No:1 – 8.

Wirajaya, Asep Yudha. 2007. Pengantar Ilmu Folklor: Mengungkap Potensi Lawu Sebagai Ikon Budaya Lokal. Semarang: Semarang University Press.

Wirajaya, Asep Yudha. (2010). “Pelapisan Sosial Dan Pernikahan Ideal Dalam Mitos Sangkuriang: Telaah Struktural Antropologi Lévi-Strauss.” Atavisme. Retrieved October 4, 2021

(http://atavisme.kemdikbud.go.id/index.php/atavisme/article/view/144).

Wirajaya, Asep Yudha. (2014a). Mitos Dalam Perspektif Sastra Bandingan. Surakarta: Assalam Publishing.

Wirajaya, Asep Yudha. (2014b). Pengantar Ilmu Folklor. Surakarta: Assalam Publishing.

Wirajaya, Asep Yudha. (2016). Menulis Skenario. Surakarta.

Wirajaya, Asep Yudha. (2020a). “Ritus-Mitos Dhukutan Sebagai Ekspresi Budaya Dalam Memperjuangkan Hak Atas Lingkungan Masyarakat Adat Daerah Lawu, Karanganyar.” Pp. 37–95 in Ekspresi Kebudayaan dan Keadilan dalam Memperjuangkan Hak atas Lingkungan bagi Masyarakat Adat Volume 3. Bandung: Media Sains Indonesia.

Wirajaya, Asep Yudha. (2020b). “Tradisi Dhukutan: Kearifan Lokal Tentang Kedaulatan Pangan Di Tengah Wabah Yang Terlupakan.” in Wabah-Wabah di Nusantara (Dari Kisah Manuskrip-Relief, Pengobatan Rempah Sampai Mitigasi Lokal). Yogyakarta: Ombak.

Wirajaya, Asep Yudha, Bani Sudardi, Istadiyantha, and Bagus Kurniawan. (2021). “The Transformation of the Dhukutan Oral Tradition into a Dance Film.” 36–42. doi: 10.2991/Assehr.K.210918.008.

Wood, Daniel B. (2006). “In ‘docu-Ganda’ Films, Balance Is Not the Objective - CSMonitor.Com.” CSM Masthead. Retrieved October 4, 2021 (https://www.csmonitor.com/2006/0602/p01s02-ussc.html).




DOI: https://doi.org/10.24176/pibsi.v43i1.233

Refbacks

  • There are currently no refbacks.