Alih Wahana Puisi di Panggung Media Sosial dan Perannya di Post Truth Era

Muhamad Haryanto, Nas Haryati Setyaningsih, Ida Zulaeha

Abstract


Puisi dalam wujud cetak bukanlah akhir dari sajian puitika. Corak dan perkembangannya berubah secara signifikan tatkala multimedia hadir. Bentuknya berubah gaya, tatkala berbaur dengan unsur seni lain dalam kecanggihan teknologi. Terlebih saat media sosial sebagai tempat berekspresi dan berkreasi semakin digemari. Awal perkembangan yang hanya sebatas puisi dipentaskan dengan sentuhan musikal dan artistik panggung, kini melebur dan berbeda. Sastrawan dan pegiat panggung sastra harus mulai “melek” media. Sebagian sudah mulai berbondong-bondong mengikuti perkembangan digital. Bahkan di era pandemi, terjadi gelombang besar alih wahana puisi di instagram, youtube, facebook, dan bebagai platform media sosial. Kabar buruknya adalah, mereka yang populer dan berjaya di youtube alihwahana puisi justru bukan dari kalangan penyair atau pegiat seni sastra. Mereka yang berjaya justru berasal dari kalangan milenial yang sebagian masih labil ideologinya dan awam pemahaman sastra. Jika dicermati, karya-karya yang muncul di media sosial (seperti youtube) hanya berbicara masalah budak cinta (istilah populer sekarang “bucin”), senja, hujan, dan kopi. Nama-nama seperti Fiersa Besari, Salsabila TV, Pena Safa, Boy Candra, justru lebih memiliki pengikut (subscriber) melimpah dibanding penyair senior yang sesungguhnya. Banyak penyair terlambat menyadari bahwa panggung kepenyairan telah bergeser dan bertransformasi. Padahal di era “Post Truth” hadirnya penyair-penyair senior diruang digital sangat diperlukan dalam memberikan keseimbangan pemikiran di dunia maya. Pada era “Post Truth” seharusnya lebih banyak nilai adiluhung yang harus disebarkan melalui media digital terutama media sosial populer seperti youtube, facebook, instagram, tiktok, dan lainnya. Melalui alihwahana, puitika dan estetika puisi yang mampu memberikan kesan emosional positif sangat diperlukan sebagai filter di era ini. Penguasaan prinsip dan konsep alih wahana menjadi sangat diperlukan oleh siapapun yang ingin mentransformasikan puisi kedalam sinematisasi, musikalisasi puisi, atau bentuk lainnya di ruang digital.

 

Poetry in printed form was not the end of poetic expression. The style and development of poetry changed significantly when multimedia was present. The form of poetry changed color when it came into contact with other elements of art and sophisticated technology; especially, when social media as a place of expression and creativity is getting more and more popular. At the beginning of its development, poetry was only performed with a musical and artistic performance on the stage; now poetry is fused and different in the digital world. Writers and performance artists must begin to be "literate" in the media. Some writers and performance artists have started to follow digital developments. In fact, in the era of the pandemic, there was a big wave of poetry transfers on Instagram, YouTube, Facebook and various social media platforms. The bad news was that those who were popular and victorious on YouTube were not actually poets or literary artists. Those who had succeeded in social media were from unstable millennials who were still unfamiliar with literary understanding. The works that appeared on social media (such as youtube) only talked about love slaves, twilight, rain, and coffee. Unfortunately, some millennial names like Fiersa Besari, Salsabila TV, Pena Safa, Boy Candra, actually had more subscribers than real veteran poets. The poetic performance seemed to have shifted and transformed. In fact, in the "Post Truth" era, the presence of senior (experienced) poets in the digital space was very necessary in providing a balance of cyberspace. Therefore, the principles and concepts of ecranisation were needed for anyone who wanted to transform poetry into cinema, poetry into music or other forms of performances in the digital space.


Keywords


alih wahana;puisi;media sosial;post truth

Full Text:

PDF

References


Behdad, Ali, and Dominic Thomas, eds. (2014) A companion to comparative literature. John Wiley & Sons.

Eneste, Pamusuk. (1991). Novel dan Film. Flores: Penerbit Nusa Indah.

Damono, Sapardi Djoko. 2014. Alih Wahana. Jakarta: Gramedia.

Faruk. (2001). “Sastra dalam Masyarakat (Ter-) Multimedia (-kan): Implikasi Teoretik, Metodologis, dan Edukasionalnya”. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fkultas Ilmu Budaya Univesitas Gadjah Mada.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Keyes, Ralph. (2004) The post-truth era: Dishonesty and deception in

contemporary life. Macmillan.

Herfanda, A.Y. (2004). “Puisi Cyber: Genre atau Tong Sampah.” Dalam Cyber Graffitti Polemik Sastra Cyberpunk. Kumpulan Esai. Saut

Situmurang (Editor)Yogyakarta: Jendela.

Pradopo, R.D. (1997). Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada Univercity Press.

Rianto, Puji. (2019) "Literasi digital dan etika media sosial di era post-truth." Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi 8.2 24-35.

Santoso, Joko. (2018). ”Puitika Teks Sastra Cybertext di era Post Truth.”

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonsia (PIBSI)): 1035-1044.

Waluyo, Herman J. (1991). Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.




DOI: https://doi.org/10.24176/pibsi.v43i1.252

Refbacks

  • There are currently no refbacks.